Breaking News

Ketua BEM KBM STKIP PGRI Bandar Lampung Soroti Kesalahan Pemerintah Daerah dalam Penanganan Tanah Adat Anak Tuha, Lampung Tengah

Bandar Lampung, Ungkap.id,- Ketua BEM KBM STKIP PGRI Bandar Lampung, Bachry Al Choiry Harahap, menyampaikan kritik dan analisisnya terkait kesalahan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan menyangkut tanah adat Anak Tuha di Kabupaten Lampung Tengah. Persoalan tanah adat yang berulang di wilayah Lampung, menurutnya, terjadi karena lemahnya pemahaman pemerintah terhadap struktur adat, hukum adat, serta hak ulayat masyarakat setempat.

Bachry menilai bahwa keputusan pemerintah daerah pada beberapa kasus cenderung tidak melalui proses musyawarah adat bersama pemangku adat setempat, seperti Suttan, Penyimbang, serta masyarakat adat Anak Tuha. Tanpa pelibatan unsur adat, kebijakan yang diambil kehilangan legitimasi sosial dan memicu konflik horizontal maupun vertikal.

“Tanah adat bukan sekadar soal kepemilikan fisik, tetapi identitas turun-temurun masyarakat Lampung. Ketika pemerintah memutuskan tanpa melibatkan para pemilik legitimasi adat, maka konflik adalah konsekuensi yang hampir pasti terjadi,” ujar Bachry.

Selain itu, ia menjelaskan bahwa banyak keputusan pemerintah lebih menitikberatkan pada aspek administratif dan ekonomi, tanpa mempertimbangkan nilai adat Lampung seperti Piil Pesenggiri, prinsip nemui nyimah, dan nengah nyappur. Hal tersebut membuat masyarakat adat merasa terabaikan, bahkan tersisihkan.

Dalam penjelasannya, terdapat sejumlah catatan kesalahan pemerintah daerah yang sering muncul dalam kasus tanah adat Anak Tuha, antara lain:

1. Tidak Melibatkan Pemangku Adat
Keputusan sering dibuat tanpa melalui musyawarah adat, sehingga memicu penolakan dan hilangnya legitimasi hukum adat.

2. Mengabaikan Hukum Adat Lampung
Pemerintah lebih mengutamakan prosedur administratif, bukan sistem kepenyimbangan yang berlaku secara turun-temurun.

3. Minim Verifikasi Status Tanah Ulayat
Penetapan status tanah sering dilakukan tanpa menelusuri sejarah, batas wilayah adat, serta kesaksian tokoh adat.

4. Memprioritaskan Proyek dan Investasi
Beberapa keputusan cenderung menguntungkan sektor perkebunan atau perusahaan sehingga menimbulkan benturan dengan masyarakat adat.

5. Kurang Transparan dalam Proses Kebijakan
Tidak adanya sosialisasi dan kajian sosial-budaya membuat masyarakat sering terlambat mengetahui keputusan pemerintah.

6. Tidak Menjalankan Prinsip FPIC
Free, Prior, Informed Consent yang menjadi prosedur internasional pengelolaan tanah adat sering diabaikan.

7. Mengabaikan Putusan MK No. 35/2012
Tanah adat tidak boleh serta merta dinyatakan sebagai tanah negara, namun realitanya masih sering terjadi sebaliknya.

8. Tidak Mengedepankan Mediasi Adat
Pemerintah lebih cepat menggunakan jalur hukum dan aparat keamanan ketimbang penyelesaian berbasis adat dan dialog sosial.

Bachry berharap pemerintah daerah lebih memahami nilai historis tanah adat, serta membuka ruang partisipasi bagi masyarakat adat dalam setiap pengambilan keputusan. Menurutnya, harmoni antara pemerintah dan masyarakat hanya dapat tercapai apabila hak ulayat diakui dan dilindungi sebagai warisan budaya sekaligus identitas lokal.

“Jika negara mengakui keberagaman, maka adat harus menjadi bagian dari keputusan, bukan korban dari keputusan,” tegasnya.

Bachry berharapkan Pemerintah dapat menjadi kajian akademik maupun diskusi pembelajaran mengenai hubungan antara negara, masyarakat adat, serta dinamika kebijakan pertanahan di Indonesia. Kasus Anak Tuha Lampung Tengah menjadi refleksi penting bahwa penyelesaian konflik tanah adat harus mengedepankan adat, hukum, dan dialog terbuka. (Rls).

Iklan Disini

Type and hit Enter to search

Close