Breaking News

Diduga Kuasai Tanah Rakyat, Kepala Desa Tegal Gede Bertindak Sewenang-wenang — Warga Ancam Demo Besar dan Desak Audit Total!

GARUT — 26 Oktober 2025
Ketegangan di Desa Tegal Gede, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, kian memanas. Sengketa lahan garapan eks HGU PT Condong yang tak kunjung diselesaikan kini berubah menjadi ledakan kemarahan rakyat.

Ratusan warga berencana menggelar aksi demonstrasi besar-besaran secara serentak, menuntut kejelasan hak atas tanah garapan mereka dan meminta agar Kepala Desa Tegal Gede segera diaudit terkait dugaan penyalahgunaan wewenang serta kebijakan yang merugikan masyarakat.


---

Panitia Dibentuk Diam-Diam, Tanpa Musyawarah Desa

Masalah bermula dari pembentukan panitia sertifikasi lahan garapan eks HGU PT Condong yang dilakukan tanpa adanya musyawarah desa (musdes).

Warga menyebut tidak pernah ada pengumuman resmi, undangan, atau pemberitahuan terbuka mengenai pembentukan panitia tersebut. Ironisnya, orang-orang yang ditunjuk menjadi panitia adalah individu yang dikenal dekat dengan Kepala Desa.

> “Kami tidak pernah diajak musyawarah. Tiba-tiba panitia sudah terbentuk, dan yang duduk di sana semua orang dekat kades,” tegas Bah Elu, tokoh masyarakat sekaligus penggarap lahan eks HGU PT Condong.



Langkah sepihak ini dinilai sebagai pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan partisipasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terutama Pasal 82 yang menegaskan bahwa setiap kebijakan desa harus dimusyawarahkan secara terbuka dengan masyarakat.


---

Janji Sertifikasi Tak Terpenuhi, Warga Diberi Harapan Palsu

Sejak awal tahun 2024, panitia bentukan Kepala Desa Tegal Gede menjanjikan sertifikasi lahan garapan eks HGU PT Condong dan pembagian yang adil bagi penggarap. Namun hingga kini, tidak satu pun janji itu terealisasi.

Sebaliknya, sebagian lahan kini malah dikuasai oleh kelompok tertentu yang dekat dengan aparat desa.

> “Kami ini petani kecil, hidup dari jagung. Tapi hak kami dirampas perlahan dengan alasan sertifikasi yang tak jelas,” ujar Bah Elu, dengan nada kecewa.




---

Pungutan Liar Berkedok Sertifikat

Selain janji yang tak ditepati, warga juga dipungut biaya sertifikasi sebesar Rp700.000 per penggarap. Uang itu disebut sebagai biaya pengurusan sertifikat tanah eks HGU PT Condong, namun sampai kini tidak ada bukti realisasi atau dokumen resmi yang diterima masyarakat.

> “Kami sudah bayar. Tapi sertifikat tidak ada, malah lahan kami digusur,” ungkap Bah Elu, menegaskan kembali kekecewaannya.



Warga menduga kuat bahwa uang pungutan itu tidak dikelola secara transparan dan berpotensi masuk ke oknum panitia maupun pihak tertentu di pemerintahan desa.


---

Tekanan, Ancaman, dan Dugaan Mafia Tanah

Warga yang berani bersuara mulai merasakan tekanan dan intimidasi. Beberapa di antaranya mendapat peringatan agar tidak mempermasalahkan keputusan panitia, bahkan disebut akan “dicoret” dari daftar penggarap jika terus menentang.

> “Kami ditekan dengan aturan yang dibuat semaunya. Padahal kami yang menggarap tanah itu sejak puluhan tahun. Sekarang kami justru dianggap pengganggu,” keluh Bah Elu, yang menjadi perwakilan masyarakat dalam perjuangan ini.



> “Kepala Desa bertindak semaunya, hanya karena kami ini dianggap tidak paham hukum. Mereka pikir rakyat kecil bisa dibodohi seenaknya,” tambahnya tegas.



Situasi ini memperkuat dugaan adanya praktik mafia tanah yang melibatkan aparat desa dan kelompok kepentingan tertentu yang ingin menguasai lahan garapan rakyat kecil.


---

Warga Sudah Berulang Kali Mengirim Surat ke Pemerintah

Tokoh masyarakat Bah Elu menegaskan bahwa pihaknya sudah berkali-kali melayangkan surat resmi kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Garut, Bupati Garut, dan Wakil Bupati Garut untuk meminta penyelesaian adil atas kasus ini. Namun, semua surat tersebut tidak mendapat tanggapan berarti.

> “Kami sudah kirim surat ke BPN, ke Bupati, juga ke Wakil Bupati. Tapi sampai sekarang tidak ada jawaban. Karena itu kami akan teruskan permohonan ini kepada KDM (Kang Dedi Mulyadi) agar kasus ini mendapat perhatian serius,” tegas Bah Elu, penuh keyakinan.




---

Rakyat Akan Bergerak: Demo Serentak dan Desakan Audit Kepala Desa

Ketiadaan tindakan dari pemerintah daerah membuat masyarakat semakin marah. Mereka berencana menggelar aksi demonstrasi besar-besaran dalam waktu dekat, melibatkan warga penggarap dari berbagai dusun di Desa Tegal Gede.

Aksi ini akan digelar serentak di kantor desa, kantor kecamatan, hingga kantor Bupati Garut.

Masyarakat juga menuntut agar Kepala Desa Tegal Gede segera diaudit secara menyeluruh, terutama dalam penggunaan dana desa dan kebijakan pertanahan yang diduga tidak transparan.

> “Kami akan turun ke jalan kalau suara kami terus diabaikan. Kepala Desa harus diaudit karena terlalu banyak kebijakan yang merugikan rakyat,” tegas Bah Elu, yang kini menjadi koordinator suara rakyat Tegal Gede.




---

Landasan Hukum yang Dilanggar

Berdasarkan hasil investigasi lapangan dan laporan masyarakat, tindakan Kepala Desa dan panitia diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum nasional, antara lain:

1. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 — bumi dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.


2. UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) — menjamin hak penggarap atas tanah yang diusahakannya.


3. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa — mewajibkan pemerintah desa menjalankan asas transparansi dan partisipasi publik.


4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM — menjamin hak setiap warga untuk memperoleh penghidupan yang layak.


5. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor — melarang pungutan liar dan penyalahgunaan jabatan.




---

Harapan Petani Kecil

Lebih dari 85% warga Desa Tegal Gede menggantungkan hidup dari hasil pertanian jagung.
Ketidakpastian status lahan dan kebijakan sepihak membuat mereka hidup dalam tekanan dan ketakutan.

> “Kami hanya ingin tanah kami kembali. Tanah tempat kami hidup, bukan tempat orang mencari keuntungan pribadi,” pungkas Bah Elu dengan suara bergetar.




---

Kesimpulan

Kasus sengketa lahan garapan eks HGU PT Condong di Desa Tegal Gede kini telah memasuki tahap krisis sosial.
Ketidakadilan, pungutan liar, dan kebijakan sepihak telah menciptakan penderitaan panjang bagi rakyat kecil.
Jika pemerintah daerah terus diam, gelombang perlawanan rakyat tampaknya tak bisa lagi dibendung.

Iklan Disini

Type and hit Enter to search

Close