Oleh: Indra Mustain
Bandar Lampung, Ungkap.id,- Selalu ada optimisme yang dipompa setiap kali seorang pemimpin baru menduduki kursi Kejaksaan Tinggi Lampung. Apalagi jika sang nakhoda datang dengan citra progresif, muda, dan penuh energi.
Kita disuguhi parade penindakan, janji-janji penyelamatan aset negara, dan harapan bahwa era baru penegakan hukum di Bumi Ruwa Jurai telah tiba.
Publik, tentu saja, mengapresiasi etalase yang kinclong itu. Namun, publik Lampung sudah terlalu sering kecewa untuk menelan optimisme itu mentah-mentah.
Di balik riuh rendahnya gebrakan kasus-kasus baru, ada sebuah ruang belakang yang gelap dan berdebu.
Di dalamnya, tumpukan berkas perkara besar sengaja dibiarkan mangkrak. Inilah "utang" sesungguhnya yang menjadi barometer untuk mengukur nyali dan integritas kepemimpinan baru ini.
Kinerja progresif adalah ilusi jika pekerjaan rumah yang paling fundamental gagal dituntaskan.
Maka, mari kita bedah tumpukan utang yang tercecer itu.
Pertama, borok klasik di rumah rakyat. Publik masih menunggu kejelasan nasib kasus dugaan korupsi Perjalanan Dinas DPRD Tanggamus (2021), APBD di Sekretariat DPRD Lampung Utara (2022), hingga dugaan korupsi Dana Hibah KONI Lampung (2020) yang kerugiannya fantastis.
Semua kasus ini melibatkan anggaran publik yang jelas, namun penanganannya seolah tak berujung.
Kedua, penjarahan sumber daya alam. Ini adalah level korupsi yang lebih terorganisir. Kita bicara soal penerbitan 121 SHM di jantung kawasan Hutan Lindung TNBBS yang diduga melibatkan pejabat BPN dan mantan kepala daerah.
Kita juga bicara soal dugaan penyalahgunaan IUP dan AMDAL pada penambangan emas PT. NATARA MINING. Keduanya adalah kejahatan kerah putih yang merusak lingkungan, namun terkesan sulit ditembus.
Ketiga, dan ini yang paling krusial, menyentuh yang tak tersentuh. Publik menagih janji untuk menuntaskan dugaan Megakorupsi PT. LEB yang menyeret nama Arinal Djunaidi, serta kasus dugaan Mafia Tanah di Way Kanan yang mengarah pada Raden Adipati. Inilah "gajah di pelupuk mata" yang menjadi ujian sesungguhnya bagi independensi Kejati.
Lalu, mengapa semua utang besar ini begitu sulit ditagih? Mengapa taji yang dielu-elukan itu terasa tumpul justru saat berhadapan dengan kasus-kasus kakap ini?
Di sinilah kita harus berani berbicara tentang "gajah di dalam ruangan" yang lain: tradisi hibah jumbo.
Bukan rahasia lagi bagaimana Pemerintah Provinsi Lampung dan Pemerintah Kota Bandar Lampung, dua entitas yang lingkaran pejabatnya sering terseret dalam dugaan kasus, justru menjadi "donatur" paling royal untuk institusi penegak hukum, termasuk Kejati. Miliaran rupiah digelontorkan atas nama "sinergi" dan "dukungan operasional". Kantor direnovasi, fasilitas dilengkapi.
Publik tidak bodoh. Publik curiga bahwa "sinergi" ini adalah bentuk konflik kepentingan yang dilembagakan.
Bagaimana mungkin Kejati bisa bersikap objektif dan garang mengusut dugaan korupsi di Daerah, jika pada saat yang sama mereka menerima "uang tambahan".
Praktik ini, pada akhirnya, memvalidasi sebuah adagium sinis yang telanjur berkembang di tengah masyarakat.
Bahwa aparat penegak hukum kita tak ubahnya "anjing penjaga" yang hanya akan menggonggong tatkala lapar.
Gonggongan itu adalah performa penindakan kasus-kasus receh; sebuah drama temporer untuk "menjual" citra seolah-olah mereka bekerja keras atas nama uang rakyat.
Namun, gonggongan itu seketika berhenti ketika sang "tuan" datang memberi makan.
Ketika Pemprov dan Pemkot menggelontorkan hibah miliaran untuk kenyamanan fasilitas, sang anjing penjaga pun diam terkulai.
Taring yang tadinya teracung, kini disembunyikan. Kasus-kasus big fish yang melibatkan "tuan" mereka, entah itu di PT. LEB, di Way Kanan, atau di KONI, seketika menjadi aman, senyap, dan terlupakan.
Jika persepsi publik ini benar, maka ini adalah realitas kita yang paling menakutkan.
Itu membuktikan satu hal: orang yang memegang kuasa hukum, mereka yang seharusnya menjadi pelindung terakhir rakyat, justru adalah pihak yang paling berbahaya ketika loyalitas mereka sudah bisa ditukar dengan materi.
Pada akhirnya, kepemimpinan baru Kejati Lampung tidak akan dinilai dari seberapa banyak kasus baru yang mereka buka di etalase. Mereka akan dinilai dari seberapa berani mereka membersihkan ruang belakang.
Dan pembersihan itu harus dimulai dengan menuntaskan kasus-kasus mangkrak yang melibatkan big fish dan, yang lebih penting, memiliki integritas untuk menghentikan praktik "hibah" yang jelas-jelas mencederai rasa keadilan dan menggadaikan taji penegakan hukum itu sendiri. (Rls)


Social Footer